Seorang tetangga, sebut saja namanya Baron. Setiap hari dia selalu memarahi anaknya, Raju yang masih umur lima tahun. Cara dia memarahi si Raju seringkali kelewat batas, dengan intensitas yang sering dan kekerasan verbal.
Pernah suatu hari, si anak yang masih balita ini pulang dari main dengan celana yang sedikit sobek, tidak banyak. Kemungkinan
karena jatuh atau ‘kecantol’ (baca: tersangkut). si babe yang mengetahui hal itu langsung naik pitam, “anak goblog, minggat (kabur dari rumah) saja kamu dari rumah. Nyusahin orang tua saja kamu, dan bla bla bla…”.
Tanpa disangka, si Raju yang balita ini sudah bisa merasa sakit hati dengan kata-kata ayahnya. Ya, dia kabur dari rumah. Alhamdulillah, ada tetangga yang melihat kaburnya si anak dan dicegah.
Di lain kesempatan, si Raju yang sedang asyik berbain dengan teman-temannya, tiba-tiba dipanggil bapaknya untuk pulang. Si bocah yang sedang asyik bermain tidak terlalu merespon orang tuanya. Lagi-lagi, kata-kata kasar yang ia terima. “Bocah budhek (baca: tuli), mana telinga kamu?!”, hardik sang ayah dengan emosi.
Sebenarnya, si Raju merupakan anak yang pandai bergaul. Dia selalu terlihat ceria kala sang ayah tidak di rumah. Dan sebaliknya, dia terlihat murung dan terkesan kuper kala sang ayah di rumah. Dia hanya bisa mengintip teman-temannya yang asyik bermain dari balik pintu rumah. Sampai dia berani melangkah keluar, dia harus siap dengan resiko.
-—————————————
Si Baron yang hobi marahin anaknya, ternyata punya masalah. Bukan anaknya yang bermasalah. Dia seorang suami yang ditinggal istrinya bekerja di luar kota yang pulang hanya 1 tahun sekali. Ternyata hal ini berpengaruh negativ pada emosinya. Marahnya sering meledak-ledak tanpa alasan yang jelas.
Sebenarnya, itu murni masalah dia dengan sang istri. Tapi sayang, anak yang seharusnya di timang tapi justru ditendang. Anak yang seharusnya diasuh, sekarang jadi tempat misuh (baca: umpatan). Sampah verbal orang tuanya memenuhi lorong telinganya.
Sekali lagi, orang tua yang bermasalah, tapi anak yang menjadi pelampiasan masalah. Mari sayangi anak kita.
Oleh: Ahmad Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar